Kerajaan Tarumanagara
Tarumanagara atau Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa bagian barat pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang diketahui. Dalam catatan, kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.Daftar isi [sembunyikan]
Bila menilik catatan prasasti, tidak ada penjelasan yang pasti siapa yang mendirikan pertama kal kerajaan Taruma. Raja yang berkuasa adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Prasasti
Prasasti Kebon Kopi,
dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
Prasasti Tugu,
ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiang, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar sepasang "pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.
Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata
kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Prasasti lain
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
PRASASTI BATUTULIS
wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang nis-
kala sa(ng) sida-mokta di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu
rena mahawijaya, ya siya pun 0 0 i saka, panca panda-
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.
PENGANTAR
LAPORAN ADOLF WINKLER(1690)
HASIL PENELITIAN
Ratu Dewata (1535 - 1534)
Raga Mulya (1567 - 1579)
MUSEUM
Kota Bogor mempunyai beberapa museum yang menarik dan layak untuk dikunjungi, bukan saja oleh pengunjung yang berasal dari luar Bogor, namun juga bagi penduduk kota Bogor sendiri.
Museum Zoologi Jl.Ir.H.Juanda No.9 Bogor
Museum Perjuangan Jl.Merdeka No.56 Bogor
Museum Etnobotani Jl.Ir.H.Juanda No. 24 Bogor
Museum Tanah Jl.Ir.H.Juanda No.98 Bogor
Museum Peta Jl.Jend.Sudirman No.35 Bogor
Tarumanagara atau Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa bagian barat pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang diketahui. Dalam catatan, kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.Daftar isi [sembunyikan]
Sejarah
Bila menilik catatan prasasti, tidak ada penjelasan yang pasti siapa yang mendirikan pertama kal kerajaan Taruma. Raja yang berkuasa adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Prasasti
Prasasti Kebon Kopi,
dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
Prasasti Tugu,
ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiang, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar sepasang "pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.
Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata
kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Prasasti lain
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
PRASASTI BATUTULIS
Prasasti Batutulis geus dialihaksarakeun ku sababaraha urang ahli,
di antarana Friederich (1853), Holle (1869), Pleyte (1911), Purbacaraka
(1921), jeung Noorduyn (1957). Ku Saléh Danasasmita, alihaksarana téh
kieu,
0 0 wang na pun ini sakakala, prebu ratu purané pun, diwastu
diya wingaran prebu guru déwataprana diwastu diya dingaran sri
baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dé-wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang nis-
kala sa(ng) sida-mokta di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu
ka(n)cana sa(ng), sida-mokta ka nusalara(ng), ya siya nu nyiyan sakaka-
la gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talagarena mahawijaya, ya siya pun 0 0 i saka, panca panda-
wa '(m)ban bumi 0 0
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang.
PENGANTAR
Hampir secara umum penduduk Bogor mempunyai keyakinan bahwa Kota
Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota Pakuan, ibukota Pajajaran.
Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini
adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan
waktu:
Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda
Kuna ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di
lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te
Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota
Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama
yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle,
nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan
Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe
bomen").
G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie
edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan
tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der wereld) yang
melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam.
"Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran"
diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang
dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan
Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran,
namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut
pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan
(Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913)
bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij
Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan"
mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja
"pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah
orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti
kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka,
berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
H. Ten Dam (1957). Sebagai Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin
meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan
awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom
Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada
hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah
prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam
Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang
Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".
Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda
umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton.
Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk
laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi
istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dengan
Sungai Tanggerang (disebut juga Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik
kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer
Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam
pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat
ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3
bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.
Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang
Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu
Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana
(untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang
bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu
pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi
yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan
seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut
keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang
sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu
"istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila
dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama
yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang
masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati.
Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca
persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini
dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di
Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.
Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang
meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton
dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara.
Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah.
Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi
salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan
bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan
terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa
di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar
Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata
"dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam
percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan dalam
kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibukota kerajaan.
Untuk praktisnya, dalam tulisan berikut digunakan "Pakuan" untuk
nama ibukota dan "Pajajaran" untuk nama negara, seperti kebiasaan
masyarakat Jawa Barat sekarang ini.
LOKASI KUNO
NASKAH KUNO
Dalam kropak (tulisan dari daun lontar atau daun nipah yang diberi
nomor 406 di museum pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi
Pakuan.. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan (biasa tulisan dari daun
lontar tulisan dari daun lontar atau daun nipah yang diberi daun nipah
yang diberi nomor 406 di Museum Pusat ontar atau daun nipah yang diberi
nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada
lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama
Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut
fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri
Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
"Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan
Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku
Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci
Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan
ka hareupeun Maharaja Tarusbawa."
(Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama
Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai
[dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga
Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda
Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak kraton diketaui
bhawa Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak kraton tidak akan
terlalu jauh dari hulu Ci Pakancilan. Hulu Sungai ini terletak di
dekat lokasi kampung lawang Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa
letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu
sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang,
sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula
kita mengetahui bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci
Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci
Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata "kancil" memang
berarti "peucang".
BERITA-BERITA VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari
catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische
Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita
lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang
serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut
Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.
Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda
menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu
ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah pihak.
LAPORAN SCIPIO
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:
Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku
dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang.
Catatannya adalah sbb.: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan
Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon
buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
Lukisan jalan setelah ia melintasi Ciliwung. Ia mencatat "Melewati
dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah
runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan
bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih
bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".
Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes
Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis
tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan
penduduk, "dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van
den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort" (bahwa istana tersebut
terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa"
Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah
besar harimau).
Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan
seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat Cisadane pada
malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah
menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan khayalan adanya
hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.
LAPORAN ADOLF WINKLER(1690)
Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun
kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Winkler.
Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar
serta seorang ahli ukur.
Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut :
Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedung Halang lewat Parung
Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh
Scipio disebut "twee lanen". Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler
menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ciliwung lalu membentuk
siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap
jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit
Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van
Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan
menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian
(pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah
tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang
panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan
lahan antara Parung AngsanaBila kembali ke catatan Scipio yang
mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu
bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat
disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada jaman Pajajaran merupakan
"Kebun Kerajaan". Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti "tanam,
tanaman atau kebun". Tajur Agung sama artinya dengan "Kebon Gede atau
Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajur Agung menjadi tempat
bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada
bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.Dari Tajur Agung
Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709)
dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang
kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak
Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian
lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada
sisi ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks
perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon Gintung.
Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang
sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak
istana kerajaan ("het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen
hebben"). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di
sana ditemukan tujuh (7) batang pohon beringin.
Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang
dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba
di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan
ke tempat arca ("Purwa Galih"), maka lokasi jalan itu harus terletak di
bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu
dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di
bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang (rumah
terapung). Bale kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale
kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat
Kerajaan Klungkung di Bali.
Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak
pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi
selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan
"benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti
(sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu.
Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi
jembatan Bondongan sekarang.
Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia
memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di
dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia
menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang
tanda penutup).
Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata
"stond" (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak
Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579),
batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.
Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut
Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana
terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung
Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat
dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati
Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur
naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga
penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara
"Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.
Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya)
terletak tidak jauh dari alun-alun.
LAPORAN ABRAHAM VAN RIEBEECK(1703,1704,1709)
Abraham adalah putera Joan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika
Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam
kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur
Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun
1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung -
Serengseng - Pondok Cina - Depok - Pondok Pucug (Citayam) - Bojong
Manggis (dekat Bojong Gede) - Kedung Halang - Parung Angsana (Tanah
Baru).
Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanah Abang - Karet - Ragunan
- Serengseng - Pondok Cina dan seterusnya sama dengan rute 1703.
Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanah Abang - Karet -
Serengseng - Pondok Pucung - Bojong Manggis - Pager Wesi - Kedung Badak -
Panaragan.
Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari
arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada
sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang
memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van
Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang "de toegang" (jalan masuk)
atau "de opgang" (jalan naik) ke Pakuan.
BEBERAPA HAL YANG DAPAT DIUNGKAPKAN DARI KETIGA PERJALANAN VAN RIEBEECK ADALAH:
Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan
yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam
(sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci
Pakancilan).
Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada jaman Pakuan merupakan jalan
masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang
penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah
parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng
Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu
gerbang kota.
Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.
Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat
patung "Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan
("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi
nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.
HASIL PENELITIAN
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan
pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya
pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun
1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya
C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya
mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya
sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en
Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat
Bogor", Pleyte menjelaskan,
"Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische
berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal
Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op
aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".
(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih
terpercaya, kampung Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri
kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya
yang tepat).
Sedikit kotradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk
kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan
lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang
sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan
Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha"
(Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah
"kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di
daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan
Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat
kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan
Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun
pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan
sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi
Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada
alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasik, leuwi
(lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana.
Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi
Sipatahunan" itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen
"Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan
bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga
kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya
terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik
paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh
benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya.
Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian
ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk
Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta
Maneuh".
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten
Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler
tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti,
melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi
Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan
pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang
lama.
Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi
daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma,
"Lawang Saketeng" berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu
gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng
tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang
menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan
tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang
Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut.
Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian
ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas pondasi
benteng.
Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung.
Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga
didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut
bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta
Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci
Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya
Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus
Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang
sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng
alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun
Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang
jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati
lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung
benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cinca
PEMERINTAHAN DI PAKUAN PAJAJARAN
Kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478
telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari
kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali.
Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara seayah Prabu
Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan
kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala
dari salah seorang isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang
telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala
sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan
telah bertunangan.
Dalam Carita Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti kaluaran".
Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan
kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan"
waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan
laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan
pertunangan.
Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan
sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak
terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala)
mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat
dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu
bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan
Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan
Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada
menantunya ini (Jayadewata).
Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan
Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan
untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama
tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya.
Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Masa Akhir Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut dipimpin oleh
Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521)
Surawisesa (1521 - 1535)Ratu Dewata (1535 - 1534)
Ratu Sakti (1543 - 1551)
Ratu Nilakendra (1551 - 1567)Raga Mulya (1567 - 1579)
Prasasti Batutulis terletak di jalan Batutulis, Kelurahan
Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Kompleks Prasasti
Batutulis memili luas 17 x 15 meter. Batu Prasasti dan benda-benda lain
peninggalan kerajaan Pajajaran terdapat dalam komplek ini. Pada batu ini
berukir kalimat-kalimat dengan huruf Sunda Kawi.
MUSEUM
Kota Bogor mempunyai beberapa museum yang menarik dan layak untuk dikunjungi, bukan saja oleh pengunjung yang berasal dari luar Bogor, namun juga bagi penduduk kota Bogor sendiri.
Museum Zoologi Jl.Ir.H.Juanda No.9 Bogor
Museum Perjuangan Jl.Merdeka No.56 Bogor
Museum Etnobotani Jl.Ir.H.Juanda No. 24 Bogor
Museum Tanah Jl.Ir.H.Juanda No.98 Bogor
Museum Peta Jl.Jend.Sudirman No.35 Bogor
Comments
Post a Comment